Ada yang menumbuk dari dalam dada kiriku. Aku melihat jam. Sudah lebih lima minit dan dari tadi hitungannya tidak kurang dari 120 kali seminit. Tiap nafas yang kuhirup terasa berat dan pekat. Aku tak merasa lemah. Aku merasa takut. Adakah ini denyut jantungku terakhir? Cepatnya tak ku cuaikan. Ia masih tekun mencari udara. Mindaku yang harus tegar dan istighfar. Bukan layu dan kaku. Keliru menjengah saat doa dan pinta mendayu, - berhenti? Atau jangan berhenti, sampai mati?
Udara yang ku hirup masih segar dan menghidupkan. Indah dunia pun tidak pudar, tetap saja mengulit hati yang kelabu, dan sinar mentari setia memancar senyum, kenapa kini semua tampak begitu berharga dari setengah jam yang lalu?
Erti syukur. Tak ramai yang mengerti. Perlu jadi sekarat untuk mengerti. Perlu muflis untuk mengerti. Perlu kematian untuk mengerti. Mahalnya harga sebuah syukur.
Udara yang ku hirup masih segar dan menghidupkan. Indah dunia pun tidak pudar, tetap saja mengulit hati yang kelabu, dan sinar mentari setia memancar senyum, kenapa kini semua tampak begitu berharga dari setengah jam yang lalu?
Erti syukur. Tak ramai yang mengerti. Perlu jadi sekarat untuk mengerti. Perlu muflis untuk mengerti. Perlu kematian untuk mengerti. Mahalnya harga sebuah syukur.
IMAN NAILAH 2009
No comments:
Post a Comment